Pengertian rinci
tentang Demokrasi Terpimpin dapat ditemukan dalam pidato kenegaraan Sukarno
dalam rangka HUT Kemerdekaan RI tahun 1957 dan 1958, yang pokok–pokoknya
sebagai berikut (Soepomo Djojowadono, dalam Mahfud MD,2000:550):
a) Ada rasa
tidak puas terhadap hasil–hasil yang dicapai sejak tahun 1945 karena belum mendekati
cita–cita dan tujuan proklamsi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan
keadilan yang tidak terbina, belum utuhnya wilayah RI karena masih ada wilayah
yang dijajah Belanda,instabilitas nasional yang ditandai oleh jatuh–bangunnya
kabinet serta pemberontakan di daerah–daerah.
b) Kegagalan
tersebut disebabkan menipisnya nasionalisme, pemilihan demokrasi liberal yang
tanpa pemimpin dan tanpa disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan
kepribadian Indonesia, serta sistem multi–partai yang didasarkan pada Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 yang ternyata partai–partai tersebut digunakan
sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat pengabdi rakyat.
c) Suatu koreksi
untuk segera kembali pada cita–cita dan tujuan semula harus dilaskukan dengan
cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan suatu demokrasi yang
menuntun untuk mengabdi kepada negara dan bangsa, yang beranggotakan
orang–orang jujur.
d) Cara yang
harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
- Mengganti
sistem free fight liberalisme dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih
sesuai dengan kepribadian bangsa.
-Dewan Perancang
Nasional akan membuat blue-print masyarakat adil dan makmur.
-Hendaknya
Konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan segera
menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Depernas dapat
didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat Konstituante
-Hendaknya
Konstituante meninjau dan memutuslkan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah
kepartaian.
-Perlunya
penyerdehanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 yang telah memberi sistem multi–partai dan menggantikannya dengan
undang–undang kepartaian serta undang–undang pemilu.
Selain itu,
Sukarno juga mendefinisikan Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Meskipun
definisi dari Demokrasi Terpimpin pada hakekatnya sebagai kebijakan alternatif
dalam menghadapi perpecahan bangsa namun pada prakteknya menyimpang dari apa
yang telah didefinisikan. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang diperkuat dengan
TAP MPRS No. VII/1965 menjelmakan Presiden Sukarno sebagai penguasa yang
mengarah pada kediktatoran.
Dalam rangka
mengurangi peran kontrol partai politik yang menolak Demokrasi Terpimpin,
Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 7 tahun 1959 yang berisi
ketentuan kewajiban partai–partai politik mencantumkan AD/ART(anggaran
dasar/anggaran rumah tangga), dengan asas dan tujuan tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945, serta membubarkan partai–partai politik yang terlibat
dalam pemberontakan–pemberontakan. Aturan tersebut mengakibatkan Partai Masyumi
dan Partai Sosialis dibubarkan karena dianggap mendukung pemberontakan
PRRI/Permesta.
Konsepsi
Demokrasi Terpimpin antara lain pembentukan lembaga negara baru yang
ektra–konstitusional yaitu Dewan Nasional yang diketuai Sukarno sendiri dan
bertugas memberi nasekat pada kabinet. Untuk pelaksanaannya dibentuk kabinet
baru yang melibatkan semua partai politik termasuk PKI. Pada bulan Juli 1959,
Sukarno mengumumkan kabinetnya yang bernama Kabinet Kerja yang terdiri dari
sembilan menteri disebut Menteri–Menteri Kabinet Inti dan 24 menteri yang
disebut Menteri Muda. Dalam Kabinet Kerja tersebut, Djuanda diangkat sebagai menteri
utama atau pertama dan semua menteri diharuskan melepaskan ikatan kepartaian
dalam membentuk pemerintahan non–partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar