Selama
masa yang cukup panjang ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah
mencapai 7 persen. Inflasi yang di akhir Demokrasi Terpimpin mencapai
650 persen, secara berangsur ditekan, berkat bantuan luar negeri.
Dalam
era ini dengan kondisi infrastruktur dan potensi keuangan yang amat
sangat minim Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah,
rata-rata 3,70 persen setahun. Dengan angka pertumbuhan serendah itu
selama 10 tahun sudah pasti tak banyak perubahan kehidupan masyarakat.
Bagi orang tua hari ini yang sudah remaja dan dewasa pada periode
tersebut dapat menuturkannya secara kualitatif. Misalnya, kondisi jalan
dan jembatan tidak mengalami kemajuan. Irgirasi tidak bertambah sehingga
petani hanya mengandalkan pengairan tradisional. Dalam hal politik, di
1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama yang tercatat
sebagai Pemilu sukses.
Selama
masa Demokrasi Terpimpin, taraf hidup bangsa Indonesia secara rata-rata
mengalami kemerosotan sekitar 0,45 persen per tahun. Secara kuantitatif
dapat dibuat satu simulasi angka. Pada 1960 pendapatan per kapita
Indonesia adalah US$ 107. Enam tahun kemudian pendapatan tersebut bukan
meningkat melainkan merosot menjadi US$ 71. Dalam kehidupan nyata
penurunan pendapatan per kapita dimaksud dapat disaksikan kondisi rakyat
pada tahun 1965/1966. Kelaparan meluas di
mana-mana. Masyarakat antri panjang untuk mendapatkan garam dan minyak
tanah. Tidak ada Puskesmas. Penduduk desa yang sakit berobat kepada
dukun dan meminta berkat ke pohon-pohom besar yang dianggap keramat.[5]
Kondisi
jalan dari desa ke desa dan ke ibukota kecataman masih jalan tikus.
Jembatan terbuat dari kayu dan jalan ke ibu kota kabupaten masih jalan
tanah. Tidak ada kenderaan bermotor. Di banyak perdesaan penduduk
menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Daerah-daerah yang sudah
relatif maju ada yang menggunakan sepeda dan sampan mengangkut hasil
produksi ke pekan atau kota dan kebutuhan masyarakat dari kota ke desa.
Rumah-rumah penduduk di kota kebanyakan menggunakan petromak dan lampu
semprong. Di pedesaan kebanyakan masih menggunakan penerangan teplok
tanpa semprong. Karena cuaca masih dingin rumah orang kaya desa yang
terbuat dari papan biasanya tidak mempunyai ventilasi sehingga waktu
bangun lubang hidung hitam. Bahkan ada yang menggunakan obor damar.
Kalau ada sinetron yang melukiskan kehidupan ekonomi tahun 1960-an itu,
mungkin bisa membuat bangsa Indonesia lebih bersyukur atas kondisi
ekonomi yang ada sekarang.